Meski telah menjadi warisan budaya Garut sejak lama, tak banyak orang yang mengenal tenun Garut. Pada awalnya, perajin tenun di Garut hanya memproduksi kain tenun putihan yang nantinya dijual dan diproses lagi menjadi kain batik. Para perajin tenun Garut di Kampung Panawuan yang memproduksi kain putihan hanya menerima pesanan dari perajin batik dan memperoleh upah kerja yang tak seberapa. Bahkan, beberapa perajin batik memesan kain tenun putihan itu dengan sistem ijon.
Oleh sebab itu, Cita Tenun Indonesia (CTI) bekerja sama dengan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN), selama periode Desember 2010 – Januari 2012 mengadakan Program Pembinaan Perajin Tenun Garut. Program pelatihan ini juga melibatkan desainer tekstil, desainer fesyen, desainer interior, instruktur pewarnaan dan struktur tenun untuk membantu perajin meningkatkan keahlian mereka.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu, yang meresmikan Kampung Tenun Garut PGN di Kampung Panawuan Garut, Rabu, 27 Juni 2012, mengungkapkan dukungannya terhadap konsep Kampung Tenun yang dikembangkan oleh CTI dan PGN. Menurut dia, program ini bersinergi dengan program Ekonomi Kreatif dari Kemenparekraf, yakni untuk menciptakan nilai tambah dari warisan budaya dan kearifan lokal, dalam hal ini tenun Garut. “Ketika kain-kain yang diproduksi para perajin digunakan sebagai bahan baku oleh para desainer, hal ini dengan sendirinya menciptakan pasar,” tuturnya.
Ketua CTI, Okke Hatta Rajasa, yang juga hadir dalam peresmian tersebut menjelaskan bahwa program pelatihan yang telah diselenggarakan oleh CTI bersama dengan PGN berusaha meningkatkan kapasitas perajin menghadapi pasar. “Kami tak hanya menyediakan modal saja, tapi juga mengajarkan mereka cara menghadapi penjual dan cara menghitung untung dan rugi terhadap hasil tenun dalam workshop selama 3 hari,” jelasnya. Menurut Okke, Hasil tenun perajin di Kampung Tenun PGN akan didistribusikan lewat mal-mal yang bekerja sama dengan CTI dan asosiasi tekstil lainnya.
Program ini sudah terbukti mampu menaikkan kesejahteraan masyarakat setempat. “Jika tadinya perajin hanya mampu menjual kain putihan dengan harga 150.000 rupiah, kini kain yang sama dapat dijual dengan harga lebih dari 400.000 rupiah per meter,” jelas Mari. “Ke depannya, Kampung Panawuan diharapkan menjadi model bagi sentra-sentra lain yang sejenis demi mengembangkan industri tenun Indonesia yang lebih baik,” ujar Mari menambahkan.
(c) ITH
Foto: rri.co.id
0 komentar:
Posting Komentar